Aku suka merah. Merah itu Me-Rah. Merah itu mempunyai ruh. Kau tahu, merah darahku tak seperti darahmu, darahku merah keunguan. Kata ayah, bercampur dengan darah biru bangsawannya, dan darah merah cerah pribumi ibu. Darahku darah ungu. Darah yang merahnya tidak merah, dan birunya telah membaur. Kata ibu darahku dibutuhkannya untuk menyembuhkan hatinya, ketika ia ditampar ayah karena menggosongkan tempe bacam, dan ketika sayur asamnya terlalu asin. Setiap sekali ayah menamparnya, ibu menggores kulitku supaya tubuhku mengeluarkan darah ungu. Ibu menempelkan darahku ke pipinya yang merah, dan kadang membiru. Lukanya menghitam, namun sakitnya menghilang. Kadangkala aku menawarkan, untuk mengusapkan darahku ke matanya, yang selalu mengeluarkan air mata sehabis dipukul ayah. Namun ibu menggeleng, katanya “Air mata tidak berasal dari mata, nak, namun dari hati.”. Kemudian aku menawarkan darahku agar diusapkan pada hatinya. Lagi- lagi ia menggeleng. “Belum saatmu.”. Aku hanya butuh menunggu waktu hingga darahku bisa menghilangkan air mata ibu.