Yah, lagi- lagi hari Minggu, entah mengapa aku tidak menyukainya, dikala orang lain merindukan hari libur, aku justru menghindarinya, dan berharap, ya Tuhan, hapuskanlah hari Minggu…
” Deri, come here, and please help me.” Mama mulai mengganggu tidurku.
” Coming.”, jawabku malas.
” Pegang ini, ini, dan ini, please.”
Aku memegang berbagai barang, entah untuk apa, dan entah mengapa mama tidak meletakkannya begitu saja di lantai. Merepotkan. Kulihat mama berada dua meter dari tanah.
” Kenapa ga ditaro di lantai aja sih, Ma?”
” Ga praktis dong, Deri… Hand me the yellow one…”
Aku memberikan benda kuning, ah bintang ternyata. Aku baru saja menyadari bahwa mama sedang menghias pohon natal yang begitu tinggi.
” Ma, natal kan masih lama, kenapa sih harus repot- repot menghias pohon natal?” aku terdiam ” dan setinggi itu?”
Tak kudengar mama berbicara, Hanya senyuman yang membuat wajahnya semakin membulat.
” It’s a surprise!”, kata mama
Aku bosan menunggui mama menghias pohon natalnya, kembali lagi aku ke peraduan, memeluk guling, dan berharap agar cepat datang Senin.
” Deri!!!”
Kurasakan suara wanita di telingaku, meneriakkan namaku begitu keras, meninggalkan bunyi ‘nging’ di kepala. Aku tahu ini kebiasaan siapa.
” Monyet! budeg telingaku! kenapa sih setiap kau datang ke sini, tak pernah membiarkan aku bermesraan sama gulingku?”
” Kamu gak kangen adikmu yang paling cantik ini? Jauh- jauh lho aku datang ke sin.”, jawabnya sambil mengedip- ngedipkan mata. “mana hadiah buat aku?”
” Nih ucapan selamat. Selamat ulang tahun ya”, ucapku sambil menjabat tangannya, lalu membalikkan badan, dan kembali memeluk guling.
” Pelit!!! Weeek… Mama aja bikinin aku pohon natal gede banget.”
” Hei! Sadar dong, kamu berumur 20 tahun, dan masih suka mengoleksi pohon natal. What a weirdo!”, ucapku sambil memejamkan mata mencoba tidur.
” Sejak kapan mengoleksi pohon natal jadi hobi yang aneh? Makanya update donk, sekarang kan setiap cewek di dunia ini mengoleksi pohon natal. Apalagi di umur 20. Kamu sih terlalu lama tinggal di underground.”
Huh, kalau bukan karena ulangtahun ke 20 adikku ini, aku tak akan pulang ke rumah ini. Aku lebih nyaman di undergroundku sana. Berdesakan dengan berbagai jenis manusia di bis dan berjalan di trotoar, walaupun sambil menghirup debu jalanan dan asap knalpot mobil yang tidak diuji emisi.
“Ah, saatnya tiup lilin, ayo Der, kita keluar kamar.”, ajak adikku.
“Malas aku.”
“Ayolaaah, sekali seumur hidup aku berumur 20. Kalau besok aku mati, kamu pasti nyesel ga ikut tiup lilin sama aku.”, katanya membujukku
“Yayayayaya…”
Kuseret badanku, lalu kurapikan rambut sedikit, demi menghargai adikku. Seperti biasanya acara tiup lilin, pertama menyanyi, make a wish dan splash, lilinnya mati.
“Picture time!”, kata Papa
I wish I am not here… I wish I am not here… I wish I am not here… Kuhentak- hentakkan tanah, aku mulai gelisah. Sudah tidak tahan lagi aku disini, aku ingin pulang saja ke bawah sana. Mereka terlalu mengintimidasi aku. Cukup sudah kurasa. Lebih baik aku melangkahkan kaki untuk mengambil koper dan pergi.
Yak, lengkaplah sudah, mereka menyewa tukang foto untuk membuat ini menjadi sempurna. Gadis 20 tahun memang seharusnya difoto di sebelah bintang tertinggi di pohon natal. Menandakan gadis itu sudah siap terbang sendiri menjelajahi kehidupannya, dan aku tidak akan bisa berfoto bersama adikku.
Tukang foto itu menatapku curiga, menganggapku sebagai makhluk dunia lain. Aku benci pandangan seperti ini. Seperti menusuk- nusuk harga diriku.
“Ya, selamat berfoto lah kalian. Aku akan pulang.”, kataku ketus.
Kulihat pandangan mama dan papa sedih, mereka ingin berucap namun tak bisa, papa terlihat menyesal mengajak foto bersama. Sebelum aku melangkahkan kaki, adiiku menggamit tanganku cepat- cepat.
“Deri, tidak perlu seperti itu, kamu tetap kakakku yang paling luar biasa.”, dia terdiam sejenak, “Walaupun kamu tidak bersayap, walaupun kamu seperti manusia, dan kamu lebih suka berada di dunia bawah sana. Meskipun kamu tidak bisa terbang, dan lebih suka berjalan dengan kakimu, namun kamu adalah kakakku paling luar biasa. Yang menggendongku waktu sayapku terluka, dan ketika aku tidak bisa berjalan, dan kau yang mengajariku terbang, padahal kau tak bersayap. Kali ini aku akan menggendongmu sambil mengepakkan sayap. Berharap di bintang pohon natal ulangtahunku ke 20 ini.”, katanya sambil terbata- bata, lalu melanjutkan lagi, “harapanku di ulangtahun ke 20 ini adalah agar kau bisa terbang walaupun tanpa sayap, tauk!!”
Aku membeku, mematung, memikirkan adikku, begitu egoisnya aku jika aku tak mau mengabulkan permintaannya kali ini.
“Tapi adik tidak boleh menggendong kakaknya. Itu memalukan, tauk!” kataku sambil mencubit hidungnya.
Tak berapa lama, aku merasakan pelukan adikku, dan kakiku terangkat dari tanah. Inilah foto pertama keluarga kami di atas angin, di belakang bintang pohon natal harapan seorang gadis yang baru saja berusia 20 tahun. Ya, aku terbang tanpa sayap untuk yang pertamakalinya.