Ketika merapi itu mulai bergemuruh, dan memuntahkan laharnya,
aku dan keluargaku terpaksa meninggalkan rumah dan ternakku.
Berharap kami dapat menyambung hidup dan masih tetap utuh bersama.
Kulihat istriku menggendong bayi kami yang masih menyusu ibunya, dia lahir 3 bulan yang lalu.
Tak terbayangkan meninggalkan desa kami, dimana aku mencari rumput untuk sapi dan kambingku,
dimana aku mendengarkan lantunan gending dari radio tua setiap sore dengan ditemani teh manis buatan istriku yang diseduhnya di dalam gelas kaleng hijau putih.
Ya, aku akan bertahan hidup, demi mereka yang kucintai. Itu tekadku.
Beberapa hari setelah merapi mereda, aku berjanji pada diri sendiri untuk kembali sejenak ke rumah kami, untuk sekedar mengambil baju si bayi, atau hanya melepas rindu pada radio tua kami.
Ketika hari itu datang, ingin jatuh airmataku, lemas kakiku, dingin tubuhku. Tak kulihat rumah kami yang dulu.
Raib, hilang dimakan muntahan merapi yang membara, dia melewati desa kami.
Sapi dan kambing kami tergeletak mati membangkai.
Kukais- kais reruntuhan rumah kami, tak kulihat bekas peraduan dimana istri dan anakku setiap harinya tidur. Hanya putih, ditutup abu gunung merapi.
Aku masih mengenali radio tuaku, yang kini sudah menjadi gepeng, plastiknya meleleh, lengket dengan tanah.
Di sebelahnya kulihat gelas kalengku, tak lagi putih hijau, namun masih utuh. Ya, akan kubawa pulang gelas kaleng ini, untuk istri dan anakku, penanda kami pernah bahagia di lereng merapi itu.
Terimakasih, merapi… Kau masih meninggalkanku gelas kaleng. Akan kusimpan ini baik- baik…Senyumku getir…
nb: penulis terilhami dengan berita tentang merapi. saya sempat melihat berita di salah satu stasiun tv, disana ada seorang bapak yang rumahnya di lereng merapi, ketika itu,rumahnya sudah tidak ada, terbawa lahar merapi, dan yang tertinggal dari rumahnya adalah gelas kaleng tersebut. saya berusaha berempati kepada saudara- saudara kita yang di sana. Semoga mereka dikuatkan. AMIN
0 comments:
Post a Comment