Aku tahu, aku terlahir setelah 31 tahun kau bernafas, setelah hampir 10 bulan kau menunggu. Mungkin terlalu jauh umur kita, kau pikir. Aku memang tak pernah mengerti apa yang kau pikirkan dan jalan pikiranmu. Memang kita tak pernah jadi sahabat, Pak. Sebagaimana aku mencoba. Dari sapaan sederhana, kelitikan, tertawaan, sampai dengan pembahasan ikatan karbon, kimia industri, obat- obatan tradisional, dan filosofi kitab suci. Kadang aku tak mau pulang, hanya dengan memikirkan, semakin lama aku di rumah, semakin kita sering beradu mulut, atau berakhir dengan tangisan diam- diamku ketika aku terlalu kesal dan tak bisa mengungkapkan apa yang ada di hatiku, di otakku.
Memang, aku terlahir tak sempurna. Semua orang seperti itu, Pak. Aku bayi istimewa, terlahir tanpa lubang air mata. Setelah keluar dari rahim ibu, aku hanya berteriak, tanpa menangis. Aku jadi bertanya- tanya, apakah kau bersedih, apakah curiga, panik, atau biasa saja. Tahu- tahu, aku sudah mendapatkan lubang air mata baru. Ketika kini aku menangis, aku tersadar, lubang air mata berperan begitu besar. Seringkali aku menyesali, mengapa kau harus membuatkanku lubang air mata. Karena lubang artifisial itu, air mataku sering terkuras. Habis. Apalagi ketika kau tak pernah mau peduli, bagaimana kerasnya duniaku.
Kau ayah, kau bertitah, kau menunjuk, kau memerintah. Aku anak, aku menurut, aku menunduk. Apakah aku boleh menolak, saat kau memintaku masuk jurusan kedokteran? Itu ambisimu, Pak. Kau ingin menjadi seorang dokter. Aku tidak. Apakah kau mendengarkan aku ketika aku ingin mengatakan bahwa SPMB waktu itu salah tempat? Kau tuduh aku tak siap, tak pandai mengatur diri. Bukan salahku, Pak. Salah mereka, yang tak becus mengatur jadwal. Dua ribu anak lainnya terlantar, termasuk aku. Kau berkata, "Kamu mencoba mengajari aku?". Aku menangis, sedih, karena kau tak pernah mau peduli. Hatimu tak bertelinga, pikiranmu terlalu dangkal. Aku anakmu. Dan kau tidak mendengarkanku. Tak sadarkah, kau waktu itu mulai menebarkan benih benci di diri anakmu.
Aku setidaknya ingin kau mendengar apa yang bisa kau dengar. Aku perempuan, Pak. Aku berpikir menggunakan hati. Bertindak dengan sedikit rasio, dan menggunakan perasaan untuk berbicara. Sedang kau tak pernah mengerti. "Cuma begitu aja nangis!", serumu. Apakah aku harus menjadi seorang anak laki- laki sehingga aku bisa mengerti inginmu. Padahal aku sangka ikatan fusi begitu erat diantara kita. Aku terlalu banyak mewarisi sifatmu. Aku terus melatih diri agar tak sakit hati saat kau berbicara. Tapi kau anggap aku tak mendengarkanmu.
Terlalu banyak asumsi- asumsi berkecamuk di pikiranku. Berkelahi sendiri seperti suporter sepakbola yang melihat kesebelasannya kalah di lapangan hijau. Tolong beritahu aku, Pak. Dengan hati. Apa yang kau maksudkan ketika kau bertindak dan berucap. Ketika aku selesai menuliskan ini, aku akan mendidik diri, untuk mengungkapkan bahwa aku sayang Bapak. Dan aku tak akan berhenti berharap bahwa kau akan berkata, "Anakku, aku mencintaimu."
Wednesday, 7 September 2011
Lubang Air Mata dan Korelasi Terhadap Ayah
Labels:
Art,
cerita pendek,
cerpen,
prosa,
prose,
short story
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
nice article, really... :)
ReplyDeleteNia.. pa kabar ? :)
ReplyDeletebkin cerita tentang cewek yg umurnya 19 tahun , trs jatuh cinta sm dokter psikiaternya umrnya 35 gt .. Pliiiss aku tunggu ya nia , thaxqu ;)
ReplyDelete