Sudah limabelas ribu kali aku memejamkan mata, mencoba untuk tertidur. Domba yang aku coba hitung juga sudah habis. Mereka terlalu kelelahan melompat- lompat di pikiranku. Kuistirahatkan saja mereka. Biar kenangan kemarin, kemarin lusa, dan kemarinnya lagi berputar- putar di kepalaku. Aku sendiri tidak tahu kenapa kamu terus bermain di sini, pertama di depan kelasku. Lalu di lapangan basket, lapangan futsal, lama kelamaan kamu bermain di kepalaku. Kamu serakah. Hatikupun kau jadikan tempat bermain.
Pertamakali aku jatuh cinta, ya dengan kamu. Kamu yang mengantarkan getaran itu setiap kali melewati kelasku. Kamu satu- satunya lelaki yang berani menatap mataku secara langsung, walaupun tanpa tersenyum. Menghantarkan sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya dengan orang lain.
Aku selalu menantikan jam istirahat selama limabelas menit itu, karena kamu akan berbetah- betahan di kelasku sambil memainkan lagu Kasih Tak Sampai dengan gitar dan suara serakmu. Lalu aku akan memilih untuk mencuri pandang denganmu dan tidak menuju kantin untuk makan siang. Menahan lapar buat kamu. Terdengar romantis. Padahal sebelumnya aku tidak tahu siapa namamu.
Aku tak sabar untuk menunggu esok hari tiba. Menunggu kamu mendatangi kelasku untuk meminjam buku pelajaran yang ketinggalan kepada Billy. Kemudian mata kita akan bertemu, menghasilkan ikatan kimia dan memunculkan hormon endorphin di kepalaku.
Sekolah tak pernah seindah ini sebelum kamu memandangku. Hari ini aku akan memberanikan diri untuk berkenalan denganmu. Aku akan main ke kelasmu dan berpura- pura menanyakan namamu. Sudah belasan kali kulatih ini di cermin. Walaupun begitu, aku masih gemetar dan sakit perut begitu wajahmu terbayang di mataku.
“Hei”, kataku memberanikan diri
“Hei!”
“Mmm… boleh pinjem buku sejarah? Punyaku ketinggalan di rumah.”, trik nomor satu, kataku dalam hati.
“Oh, boleh. Kebetulan aku bawa. Sebentar ya… Hmmm… ini dia bukunya.”, katanya sambil tersenyum manis.
“Thanks! By the way, aku Sheila.”, kataku sambil mengulurkan tangan.
“Oh, aku Ilham.”, jawabnya. “Aku sudah tahu kok nama kamu.”
Wow… kurasakan detak jantung yang semakin kencang. Sepertinya ini pertanda yang baik.
“Oh ya? Tau dari mana?”, semoga aku bisa menyembunyikan kebahagiaanku yang berlebih.
“Haha… pasti tahu lah. Kamu kan yang duduk di depan Ninda?”, jawabnya
“Iya…”
Wow, ternyata dia sampai hapal siapa teman di belakangku! Aku ingin melompat- lompat bahagia.
“Eh, nanti kalau udah masuk kelas, tolong sampaikan salam aku ya buat dia. Ehm… sori nih, kita baru kenalan tapi aku udah begini. Kamu tahu gak, dia lagi naksir siapa?”, tanyanya sambil malu- malu.
“Oh…”, aku mencoba menyusun kata.
Jadi selama ini Ninda? Astaga… Aku terlalu bodoh untuk mengira bahwa dia memandangku. Selalu berjaga di kelasku setiap jam istirahat demi melihatku. Ternyata bukan. Arrgh… ingin kumaki diriku.
“Oh…ehm… Ninda ya? Sayangnya dia udah punya pacar.”, jawabku kaku.
“Masa? Aku gak pernah liat dia jalan sama seseorang…”
“iya, pacarnya itu guru lesnya.”, kataku serius.
“I see.”
Ilham, cahayamu lalu redup seketika. Jika kamu lilin, harusnya aku yang menyalakan kamu.
Tinggalkan Ninda, Ilham… Malam ini aku tidak bisa terpejam lagi.
#FFDadakan @nulisbuku
Sunday, 23 October 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment