Rasa ini biadab. Walau sudah kutekuk lutut, kugigit bibir, lalu kuhisap mengalirnya darah bercampur liur bau sampah. Apa tubuhku tidak bisa lebih bahagia dari pikiranku? Kutengadahkan tangan. Aku minta makanan. Yang datang uang. Uang datang tak diharapkan bagai anak haram. Tidak ada lagi yang kubenci selain uang. Gemerincing koin membuatku hanya teringat pada gemeretuk gigi yang beradu karena kedinginan. Tajamnya uang kertas baru menyayat kulit, tidak sampai berdarah, namun perih itu yang membuat sakit semakin tambah. Tidak dalam, tapi mengganggu jika makan.
Sudah cukup aku berfoya- foya dengan kemiskinan, bersenang- senang dengan kesendirian. Hedonisme kelas bawah tidak serumit perasaan perempuan saat datang bulan. Cukup dengan menatap langit yang seperti kanvas kosong, tidak ada bulan dan bintang, tapi masih kulihat bayang- bayang. Lalu aku berpikir, apakah bayang- bayang orang miskin berbeda? Bayang- bayangku terlihat sebagai seorang pengecut yang tak berani menatap hidup. Bahkan, aku pernah berharap supaya bisa terus berjalan di dalam bayang- bayang yang sepertinya indah, tidak terlihat, namun tetap ada. Kata ibu, bayangan adalah budak cahaya. Sama seperti orang kaya, mereka tidak akan ada jika tanpa orang miskin. Yang mana yang jadi cahaya? Aku atau mereka?
Kemudian itu semua menjadi tidak penting seperti daun yang jatuh dari pohon, menjadi tua dan kering, lalu diinjak orang. Aku memang miskin, tapi aku sedikit mengerti tentang filosofi hidup walaupun bukan seperti Plato atau Socrates. Bagiku hidup itu perjalanan menuju kematian. Tujuan hidupku adalah kematian. Kulihat tujuan hidupku tidak jauh, terlihat tempatnya dengan kasat mata. Sayangnya aku harus menempuhnya dengan berjalan kaki, dimana orang lain menempuhnya dengan naik kereta kuda, atau bahkan pesawat terbang.
Sampai sekarang aku masih akan bertanya, seperti apa jalan kematianku nanti. Yang aku tahu, aku hanya ingin mati dengan sempurna...
nia
Tuesday, 23 October 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment